Gereja ini hadir dengan tugas utama memberitakan kabar sukacita kepada seluruh ciptaan Allah dan itu berarti gereja juga tidak terlepas keberadaannya sebagai yang bersukacita.

Gereja yang bersukacita bukanlah Gereja yang tanpa persoalan sebab pada hakikatnya dalam harmoni selalu hadir unsur yang berlawanan. Sukacita hadir karena hadir juga pergumulan dan tantangan. Tanpa kehadiran yang bersifat bertentangan maka sukacita itu sendiri tidak pernah ada. Dalam perspektif maka keberadaan Gereja senantiasa mengusung keterjalinan yang harmonis. Artinya pergulatan Gereja dalam usahanya memberitakan kabar baik selalu menukik pada realitas yang bisa menerima tetapi sekaligus bisa menolak.

Penerimaan dan penolakan yang harus diterima oleh Gereja sebagai entitas yang hidupnya berkelindan dengan realitas yang turut membentuk kualitas panggilan dan pengutusan. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran Gereja dengan segala kekuatannya juga sekaligus memberi kesadaran tentang kerapuhannya untuk terus mewujudkan harmoni sebagaimana diamanatkan oleh Sang Kepala Gereja.

Ketika Gereja ini mampu berada diusia ke-72 tahun hal itu melampaui pendekatan rasional (positivism) yang teknis semata. Gereja ini berjuang di tengah dunia yang begitu riuh dengan berbagai peristiwa sehingga piawai untuk mewujudkan keteduhan. Di sisi ini penjelasan Bergson menjadi relevan bahwa dunia yang mengelaborasi pendekatan data dan rasional patut ditanggapi Gereja dengan pendekatan nurani. Yesus yang tergerak hati-Nya oleh belas kasihan menjadi contoh bahwa pendekatan-Nya bersifat holistik (band. Matius 14: 14, Lukas 7: 11-15) sehingga dalam tindakan-Nya tidak menunjukkan sikap reaktif. Demikianlah Gereja yang terus berjuang menjawab setiap peristiwa bukanlah Gereja yang reaktif melainkan Gereja yang terus menyuarakan kebenaran di tengah ketidakbenaran, tidak permisif, tidak menafikan akal budi, namun yang senantiasa berpaling pada sikapnya menjaga harmoni. Gereja yang mampu membaca kenyataan adalah Gereja yang juga berkaca pada dirinya sendiri sehingga bermuara pada pengertian yang tidak hanya rasional namun sekaligus mampu mengurai yang tidak terurai oleh rasio. Kesadaran inilah yang telah melengkapi Gereja untuk tidak pernah putus asa dalam tugas panggilan dan pengutusannya.

Keuletan Gereja yang tidak dibatasi oleh batas-batas dan bersifat missioner adalah Gereja yang mendeklarasikan harmoni baik di kota maupun desa, di pos-pos Pelkes dan berbagai suku. Sekalipun demikian Gereja ini tetap paham keterbatasannya untuk selalu menjaga hati untuk kebersamaan dengan saudara-saudarinya. Eksistensi Gereja ini tidak ditentukan oleh jumlah penggemar atau "follower' tetapi ditentukan sifatnya yang tergerak oleh nurani dan imajinasi untuk mewujudkan kehadiran yang harmoni.

Di tengah pandemik Covid-19 Gereja ini tidak kehilangan asa ketika air mata duka mengiringi mereka yang memberi diri dalam pelayanan. Air mata duka tidak akan pernah meluluhkan semangat Gereja ini untuk terus melangkah dengan iman, harap dan kasih. Diperistiwa ini ketangguhan Gereja sungguh teruji untuk tidak menampilkan wajah populis tetapi memperlihatkan pengenalan akan diri sebagai hasil dari berkaca pada diri sendiri sehingga bagai Ibu yang mengusap peluhnya dengan selendang batik di tanah gersang Gereja ini terus berjalan dalam panggilan dan pengutusannya. Di titik inilah Gereja hadir bagaikan Semar yang dengan wataknya sebagai sang penyampai pesan itu, tak lain dan tak bukan adalah Semar. Semar merupakan nama tokoh punakawan atau abdi paling utama dalam pewayangan. Tokoh ini dikisahkan sebagai pengasuh sekaligus penasihat para kesatria dalam pementasan kisah-kisah Mahabharata dan Ramayana. Semar yang hadir dengan ciri khasnya sedikit jambul di kepalanya hendak mempelihatkan sifat ceria dari anak-anak yang dibalut oleh wajah tua nan arif dan bijaksana.

Gereja ini juga menampilkan keceriaan yang memungkinkan anak-anak hingga mereka yang berusia lanjut menemukan kegembiraan mereka dalam pengenalan akan diri mereka sendiri. Semar yang hadir dengan kulit hitam bukanlah sebuah gambaran yang rasialis tetapi hitam yang berarti warna bumi menunjukkan bahwa di tengah berbagai tindakan yang dialaminya, bumi mampu memberi yang terbaik kepada manusia dan pada kahirnya mendekap manusia dalam akhir kisah kematian. Bumi yang diperlakukan tidak adil namun mampu menunjukkan sifat digdayanya memberi yang terbaik bagi manusia dengan menghasilkan segala kebutuhan manusia.

Itulah Gereja yang dengan warnanya yang tidak cemerlang dalam polesan kepalsuan namun memperlihatkan sifatnya untuk menumbuhkan kebajikan sekalipun sering diperlakukan tidak adil. Bagai Semar Gereja ini memaknai kehadirannya sebagai saluran berkat ketika tangan yang satu menengadah tetapi tangan yang lain menunjuk ke bawah. Bagai Semar Gereja ini memberitakan kabar sukacita kepada mereka yang berpangkat maupun mereka yang di lading.

Di Gereja ini hadir para pelayan firman dan sakramen yang telah memberi diri mereka untuk mendekap sebuah kitab. Para pelayan firman dan sakramen yang dalam keterbatasanya menyuarakn pesan dari yang Tak Terbatas. Semua dilakukan melampaui kebisingan duniawi yang sarat dengan istilah "stake holder'. Mereka yang memberi diri sebagai persembahan yang hidup, kudus dan berkenan kepada Allah.

Di sisi lain kehadiran para pelayan firman dan sakramen sungguh tidak mengabaikan mereka yang dalam diam menyerap segala luka, penolakan bahkan kesakitan. Mereka yang dalam diam menanggung beban sebagai konsekuensi mengikuti sang pelayan firman dan sakramen. Merekalah yang menyembuhkan ketika pelayan firman itu terluka, merekalah yang menerima ketika pelayan firman itu ditolak, mereka adalah pasangan dari sang pelayan firman dan sakramen. Mereka tidak memakai stola namun kehadiran mereka mencerahkan setiap stola yang dipakai presbiter. Di Gereja mereka hadir dengan sederet kelebihan dan juga kekurangan namun yang tidak memandang sesama sebatas fungsi. Mereka para diaken-penatua yang turut dalam arak-arakan pelayanan sang Gereja dan jerih lelah mereka mengabdikan diri dengan segala ketakutan dan keberanian yang memuncak pada rasa takjub mensyukuri karya-Nya.

Di Gereja yang mengabdikan pelayanan sampai pada batas usia adalah Gereja yang selalu mengarahkan pandangan kepada-Nya dan berbisik pelan kepada sesama "jangan datang kepadaku, tetapi datanglah kepada Dia yang membuka tali kasutnyapun aku tidak layak (band Lukas 6:13). Maka di usianya yang ke-72 tahun Gereja inipun berkata lirih "Ia harus semakin besar dan aku harus semakin kecil' (band Yoh. 3:30).

Selamat HUT GPIB, Tuhan selalu menyertaimu melampaui apa yang dapat engkau pikirkan. Maka hayatilah sukacitamu dalam harmoni dan sekaligus lugas untuk meyakini kabar sukacita yang dititipkan Tuhan kepadamu.